“Ketika dunia diperebutkan, ia memilih meninggalkannya. Di Parang Garudo, sejarah bukan hanya ditulis, tapi disepi dan didoakan.”
Di lereng selatan tanah Jawa, jauh dari keramaian kota dan bisingnya panggung kekuasaan, terdapat sebuah nama yang hidup dalam bisik-bisik warga tua dan juru kunci desa: Parang Garudo. Bukan nama resmi dalam peta, tapi begitu akrab dalam hati banyak orang. Konon, di sinilah seorang bangsawan besar memilih melepaskan tahta dan berjalan menuju keheningan. Dialah Sunan Benowo, pewaris sah Kesultanan Pajang.
Putra Raja yang Terpinggirkan
Sunan Benowo, anak dari Sultan Hadiwijaya—raja pertama Pajang yang lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir—mewarisi takhta setelah sang ayah wafat. Namun, sejarah tak selalu berpihak pada darah biru. Arya Pangiri, menantu Hadiwijaya dari Demak, mengambil alih kekuasaan secara sepihak. Benowo tersingkir, tapi tidak tinggal diam.
Dalam pelariannya, ia menjalin aliansi dengan Sutawijaya, tokoh muda ambisius dari Mataram. Berkat kekuatan pasukan Mataram, Arya Pangiri berhasil digulingkan. Benowo naik takhta, namun yang terjadi selanjutnya mengejutkan banyak orang.
Tahta yang Ditinggalkan
Setelah kekuasaan kembali di tangannya, Sunan Benowo malah memilih mundur. Ia menyerahkan Pajang kepada Sutawijaya dan mengambil jalan yang tak lazim bagi seorang pangeran—hidup sebagai wali yang sederhana. Di sinilah kisah Parang Garudo bermula.
Parang Garudo dipercaya sebagai tempat pertapaan Sunan Benowo, sebuah kawasan terpencil di wilayah selatan yang oleh sebagian masyarakat disebut sebagai Kadipaten Kidul. Meski tidak tercatat dalam buku sejarah formal, nama ini hidup dalam tuturan, kidung, dan doa-doa malam di surau-surau tua.
Parang Garudo: Di Antara Batu, Hening, dan Sejarah
"Parang" berarti batu tebing, dan "Garudo" adalah bentuk lokal dari "Garuda"—lambang agung kerajaan. Nama ini bukan hanya puitis, tapi mengandung makna spiritual: tempat sakral yang menjadi pelabuhan ruhani seorang raja yang memilih menjadi hamba.
Beberapa sumber tutur menyebut lokasi ini berada di kawasan selatan Klaten hingga perbukitan Gunung Kidul. Tidak ada papan nama, tidak ada monumen. Hanya pohon tua, aliran air kecil, dan bisikan sejarah yang menggema dalam diam.
Bagi masyarakat sekitar, tempat ini dianggap keramat. "Ini bukan tempat untuk dilihat, tapi untuk direnungkan," ujar seorang sesepuh desa saat ditemui di sebuah petilasan yang diyakini sebagai jejak Sunan Benowo.
Warisan yang Tak Tertulis, Tapi Terasa
Parang Garudo tidak tercetak dalam buku pelajaran sejarah. Tapi justru di situlah kekuatannya: ia hidup dalam hati, dalam cerita orang tua kepada cucu-cucunya, dan dalam nilai yang diwariskan—tentang ketulusan, kerendahan hati, dan pilihan untuk tidak selalu merebut dunia.
Dalam zaman yang penuh ambisi kekuasaan, kisah Sunan Benowo di Parang Garudo seperti teguran lembut: bahwa tidak semua kemenangan harus diraih dengan pedang, dan tidak semua takhta harus dipertahankan dengan darah.
Penutup: Ketika Leluhur Mengajarkan untuk Menepi
Parang Garudo bukan sekadar lokasi; ia adalah cermin zaman. Di tengah hiruk-pikuk politik dan perebutan jabatan, kisah Sunan Benowo menjadi penyejuk: bahwa kadang yang paling mulia adalah yang paling sepi, dan yang paling bijak adalah yang paling tidak dikenal.
Mungkin, di situlah sesungguhnya arti dari sebuah Kadipaten Kidul—wilayah jiwa yang menolak keramaian dunia demi kedamaian batin.
